Aug 14, 2010

Eat, Pray, Love


Bali. Menjadi dasar kuat yang melatari film Eat, Pray, Love. Bukan tanpa sebab, Bali dijadikan sebagai ending dari rangkaian cerita dalam film yang diadaptasi dari judul yang sama karangan Elizabeth Gilberth. Dari beberapa foto penggalan film yang saya ambil dari imdb.com, banyak sekali menyuguhkan social culture Bali yang sangat indah. Bahkan di trailer-nya saja, pada opening disuguhkan Bali dengan latar sawah dan gunung Batur. Sungguh menawan!

Sebagai info, film ini menceritakan tentang Gilberth yang diperankan oleh aktris cantik Julia Robert. Gilberth adalah seorang jurnalis yang resah mencari makna hidup. Dan pada perkembangannya, dia telah memiliki semuanya, termasuk suami, rumah dan karir. Namun, bukanlah kebahagiaan yang dia raih, melainkan keresahan yang semakin mendalam. Apalagi setelah bercerai dari suaminya sehingga dia sangat depresi dan mengalami hari-hari yang sangat kritis. Untuk memulihkan keadaannya, maka dia mengambil langkah yang sangat ekstrem. Dia ingin menenangkan diri dengan berpetualangan ke penjuru dunia. Dia rela meninggalkan pekerjaan dan orang-orang yang dicintainya selama ini. Dia meninggalkan segala hal yang telah diperoleh.

Bukan keputusan yang mudah untuk menjalani hal tersebut, akhirnya dia memutuskan untuk mengunjungi 3 negara yang menurutnya mewakili apa yang dia cari selama ini. Negara pertama adalah Italia, dengan beragam budaya dan kekhasan aneka masakannya. Di sini dia memahami adanya filosofi dalam makna kehidupan mengenai Eat (makan). Karena memang masakan Italia dikenal dengan resep-resep yang khas dan mendunia. Setelah puas di Italia, dia menuju ke India. Di sini, dia memahami tentang makna hidup dengan adanya penyerahan diri kepada Tuhan, Pray (ibadah). Mengenal sisi spiritualitas yang sangat mendalam di padepokan Hindu India.

Dan terakhir dia menuju ke Bali, Indonesia. Di sinilah alur cerita itu berakhir. Selama di Bali, dia menjadi murid dari seorang dukun lokal yang sangat arif, Ketut Liyer, diperankan Hadi Subiyanto. Banyak hal yang dia dapatkan selama menjadi murid Ketut Liyer. Bahkan, dia mengenal dan memahami serta menemukan kembali makna cinta (Love) selama di Bali. Cinta yang dia cari selama ini berlabuh kepada Felipe, diperankan oleh Javier Bardem. Sungguh menjadi akhir perjalanan dan jalinan cinta yang dia dambakan selama ini. Film Eat, Pray, Love telah rilis tanggal 13 Agustus 2010 di Amerika Serikat. []

Aug 10, 2010

Happy Ramadhan 1431 H


Alhamdulillah. Tidak terasa sudah memasuki bulan Ramadhan di tahun 2010 ini. Sungguh bulan yang sangat saya rindukan, apalagi ketika buka puasa, tawarih, tadarus dan sahur. Masih ingat saya ketika puasa tahun kemarin. Ketika berbuka harus berburu dan menyiapkan ta'jil untuk para pelanggan dan karyawan. Kadang malah tak kebagian.

Ketika tawarih, sungguh suasana yang saya rindukan saat berjejer berjamaah dengan para makmum dengan segala kekhusyukan ibadahnya. Ketika tadarus, sungguh pengalaman tak terlupakan ketika saya ditegur oleh penyimak di sebelah saya yang memang agak "keras". Maklum, orangnya sudah tua, tapi saya salut karena masih peduli dan mau tadarus daripada generasi mudanya yang entah ke mana. Masih ingat juga saya ketika selesai tadarus, ada beberapa orang yang membawa bingkisan, semua orang dapat jatah...eh lhakok saya malah tidak. Apes! Tapi bukan niatan tadarus saya untuk mendapatkan itu lho...

Ketika sahur, saya masih ingat harus janjian dengan sahabat saya, Ade, anak Bandung, harus saling mengingatkan bangun untuk sahur. "Pik, bangun! Cak Ran ato Unair?" Haduh...kangen sama kepolosan dan kerendahan hatinya. Miss U prend! Kami juga senang keliling Surabaya pusat ketika waktu sahur, berangkat pukul 02.00 wib kembali pukul 04.00 wib, pas imsak. Bahkan saya kadangkala harus mengganggu sang satpam untuk membukakan pintu pagar kantor. Sungguh kenangan yang tak terlupa.

Saat ini, meski masih di kampung orang, saya merasakan pengalaman Ramadhan di luar rumah. Biasanya saat pertama Ramadhan, saya kumpul bersama keluarga, namun kali ini tidak. Cari suasana berbeda saja, namun jika memilih, saya lebih suka di rumah. Suara petasan, pujian-pujian ketika menjelang Tarawih, musik patrol ketika sahur dan jalan-jalan subuh. Semua itu sangat saya rindukan.

Namun, saya tak mau panjang lebar. Perkenankanlah, saya, anaksemeru, mengucapkan:

"Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1431 H"
Semoga kita dapat menjalankannya dengan baik dan penuh kesabaran



Keluarga besar,

anaksemeru

Aug 9, 2010

Menyibak Coban Pawon

Petualangan saya dan Mekedel berlanjut. Setelah puas muter-muter di kebun teh, maka kami menuju target berikutnya yakni air terjun yang katanya jarang dijamah orang. Nah lho? Tambah penasaran. Hal ini bermula saat kami berada di kebun teh, kami mencari-cari air terjun yang katanya lebih besar dan lebih tinggi dari coban Bedhug. Namun dicari hingga nyaris ke puncak kebun teh tidak ketemu. Akhirnya, kami mencari informasi mengenai keberadaan air terjun yang membuat saya dan Mekedel makin penasaran. Setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya kami diberi rute oleh informan di kebun teh. Pokoknya kami harus turun bukit dan jaraknya sekitar 7 kilometer. Eidan tenan! Tapi berhubung kami ngebet ingin tahu, akhirnya kami berangkat juga menuju ke sana.

Tak mudah menemukan lokasi yang dimaksud, malahan kami sempat tersesat lantaran keraguan informasi. Namun, kami santai saja mencari lokasi tersebut apalagi jalanan yang menurun membuat kami bermain layaknya rollercoaster. Teriak-teriak tak karuan, saking kencang dan senangnya. Akhirnya, selama kurang lebih 1 jam cari informasi, kami menemukan juga lokasi tersebut. Lega!

Namun, bukan tanpa masalah lagi. Kali ini kami sungguh apes lantaran tidak ada yang bisa mengantarkan kami ke lokasi. Apalagi medannya yang sangat susah. Setelah menimbang kembali, kami akhirnya ditawari oleh pak Si’i, seorang warga setempat yang kebetulan mempunyai ladang di dekat lokasi. Kamipun menitipkan motor di rumah beliau. Sebagai info, Coban Pawon berada di daerah Kertowono, lebih tepatnya di desa Wangkit.Titik lokasi tepatnya berada di perbatasan desa Dadapan dan desa Wangkit.

Pak Si’i asik juga orangnya. Ngobrol apapun nyambung meskipun notebenenya orang desa. Selama perjalanan pun kami mengobrol terus dengan beliau. Medan yang sangat susah tak kami hiraukan karena melihat beliau penuh bersemangat mengantar kami. Dari arah perbatasan tadi, jarak menuju ke lokasi air terjun sekitar 1,5 kilometer. Naik turun bukit menjadi ciri khas track menuju ke lokasi. Bahkan, sebelum tiba di lokasi air terjun, medannya juga lumayan curam yakni sekitar 45 derajat. Gila! Kami pun harus berpegangan hanya dengan pohon-pohon kecil dan daun pisang yang sudah lapuk. Grrrr…

Tampak dari atas, coban Pawon seperti tungku, air yang jatuh dari ketinggian sekitar 15 meter menimpa lubang gua yang ada di bawahnya. Sehingga terlihat sangat indah dan menakjubkan. Dari arah kejauhan, bentuk pawon tersebut sangatlah jelas terlihat detailnya. Terlebih jika masuk ke dalam gua yang berdiameter sekitar 6 meter, maka kita dapat menikmati air yang diterpa angin. Sungguh mengasyikkan.

Salah satu air terjun yang harus dikunjungi dari sekian air terjun yang ada di Lumajang adalah Coban Pawon atau biasa disebut Antrukan Pawon. Lokasinya yang masih alami dan jarang terjamah oleh orang memberikan pengalaman yang tak terlupakan.”


Dedaunan hijau dengan tanaman khas pegunungan juga dapat dinikmati di sisi kanan kiri air terjun. Di bawah air terjun terdapat sungai yang mengalir menuju hilir. Tatanan alami bebatuan juga menjadi lukisan alam yang berdampingan langsung dengan sungai. Meski secara keseluruhan medannya cukup sulit, namun hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin menikmati air terjun yang tinggi dan besar ini. Terima kasih, Pak Si’i, kami takkan melupakan jasamu yang telah mengantarkan kami menemukan air terjun yang sangat indah itu. []

Permadani Hijau di Gucialit


Di hari kedua bersama Mekedel, saya masih bingung mau diajak ke mana lagi. Banyak spot wisata yang bisa dikunjungi namun malah bingung mana yang didahulukan. Karena sebelumnya sudah ke Lumajang bagian timur dan barat wilayah selatan, sekarang kayaknya ingin ke bagian barat wilayah utara. Ya, tak lain memang ada spot wisata yang akan menyenangkan nantinya. Agrowisata Kebun Teh Gucialit.

Setelah berkemas, kami berangkat sekitar pukul 13.00 wib, sungguh waktu yang kurang tepat untuk jalan-jalan. Selain panas, jaraknya juga lumayan jauh sehingga memakan waktu. Meski begitu, kami nekad saja berangkat. Berbekal tas, botol air minum yang sudah terisi dan tentunya kamera digital. Sekitar 1 jam kami tiba di Agrowisata Kebun Teh Gucialit. Hawanya pun berganti, kali ini cukup sejuk dan segar. Tidak seperti selama perjalanan yang cukup menyengat.

Lokasi yang kami tuju tepatnya berada di wilayah barat kabupaten Lumajang yang berupa dataran tinggi seperti pegunungan. Di sini, kita banyak disuguhi pemandangan alam, mulai dari hijaunya sawah, deretan kebun kopi, pohon manggis, cengkeh dan yang paling menarik adalah kebun teh. Agrowisata Kebuh Teh Gucialit merupakan wilayah perkebunan teh milik PTPN XII Kebun Kertowono. Bahkan di sana juga ada pabrik pengolahannya yang tak jauh dari kebun teh.


Ketika awal masuk kawasan agro, kita akan menemukan bangunan tua khas Belanda. Mulai dari kantor PTPN XII, homestay, rumah dinas dan penginapan. Arsitektur yang bergaya Belanda kuno sangat kental, terlebih pada homestay yang biasanya digunakan bagi para tamu dan pejabat yang berkunjung ke sana. Sangat unik dan asyik jika berada di dalamnya. Kesan perkebunan yang dipadu dengan suasana yang khas pegunungan sangat menenangkan. Kicauan burung-burung dan kupu-kupu yang beterbangan di taman depan homestay sangat menawan. Bagi siapa saja pasti bakal betah berada di sini.

Setelah cukup berkeliling di homestay dan penginapan, kami menuju ke kebun teh dan air terjun. Jaraknya tak terlalu jauh dari pintu gerbang, namun yang menjadi kendala adalah medannya yang kurang bersahabat lantaran masih makadam. Meski begitu, kami dapat menikmati jalan-jalan ini karena terobati dengan panorama hamparan kebun teh nan hijau. Pucuk-pucuk daun seakan-akan menyentuh langit ketika kami melewati di sisi lembahnya. Tak hanya itu, kami juga dapat menikmati air terjun yang berada di area kebun teh. Namanya Coban Bedhug, dari namanya saja kita pasti tahu bahwa air terjun ini bermakna “Dhuhur” yang dalam bahasa Jawa bermakna “Siang”. Air terjun ini memang terlihat rendah dari kebanyakan air terjun yang ada namun panorama sekitarnya cukup membuat kesejukan. Dengan taman yang sengaja dibangun, air terjun ini tampak lebih hidup.

Jika naik ke atas lagi maka kita dapat menikmati kota Lumajang dari puncak perbukitan yang tentunya ditemani hamparan kebun teh. Di sini akan terasa berada di atas kota Lumajang, karena hampir kawasan yang ada di bawah kebun teh tampak jelas terlihat. Sungguh liburan yang sangat menyenangkan. Dan siang itu juga kami harus menyudahi jalan-jalan di kebun teh untuk melanjutkan ke target berikutnya. []