Aug 31, 2010

Sebuah Instalasi Cerita: Uang?!

Ini adalah koleksi uang saya yang didapatkan dari warung-warung kaki lima untuk uang kembalian. Saya awalnya sempat geleng-geleng, "Kok masih ada ya uang kayak gini?". Inginnya sih ditukar dengan yang lebih baik, namun dasar hati Jawa, saya enggan karena sungkan. Pun begitu, jadi saya koleksi, hitung-hitung sebagai kenangan. Hehehehe... Apa mungkin yang kayak gini yang perlu di-redenominasi ya? :) []

Aug 30, 2010

Foto Bulan Ini v.08.io


Sudah lama tak menampilan postingan serupa. Semoga ini lecutan untuk terus berkarya dalam dunia fotografi. Foto kali ini bertema "Negative Film". Memang teknik ini tidak terlalu istimewa, bahkan biasa saja. Namun, dari 2 foto yang saya dapatkan, keduanya memiliki sisi keunikan yang kuat. Karena keduanya saya nilai mempunyai makna tertentu. Foto pertama; seorang cewek yang sedang berpose layaknya Jlo "Tomb Rider". Di sini saya menemukan detail-detail kecil pada mata dan tangan. Karena keduanya mampu membuat foto ini berbicara.

Sementara foto kedua; seorang lelaki yang sedang beraktifitas. Sisi keunikannya adalah siluet dengan detail lekukan tiap garis. Difoto dari arah samping membuat hasil ini tampak lebih apik. Terlebih dengan latar yang sangat membuatnya kontras. []

Aug 29, 2010

Hancurkan Arogansi Malingsia!



Masih teringat di bulan kemerdekaan RI ini. Bertepatan dengan bulan Ramadhan juga, Indonesia harus menerima kado pahit dari negara tetangga. Peristiwa 13 Agustus 2010, menjadi momok dan pengelupas luka yang sudah berkali-kali dilakukan oleh negeri Jiran, Malaysia. Semoga ini bukan kado pahit seperti Palestina-Israel yang pada tahun sebelumnya juga terjadi di bulan Ramadhan.

Goresan luka yang belum sembuh itu sudah digarami lagi oleh Malaysia. Mulai dari klaim budaya, perbatasan, penyiksaan dan pembunuhan TKI dan sebagainya. Dengan dalih lagu lama "negara serumpun", mereka dengan entengnya menginjak-injak harga diri dan kedaulatan NKRI. Indonesia sendiri bukan tanpa bergeming dan marah, namun lebih dari itu. Masih ingat peristiwa Reog Ponorogo, Angklung dan Batik. Semuanya itu masih belum menjadi jera bagi negara tetangga kita itu. Meski banyak yang menilai pemerintahan lamban dan kurang tegas menyikapi hal ini, namun jalur-jalur negosiasi sudah ditempuh. Bak muntap, semua itu tak berpengaruh dengan hati rakyat yang sudah menilai perlakukan Malaysia sudah sangat biadab.

Di dalam negeri sendiri, atmosfer kemarahan sudah mendidih lantaran ini adalah kejadian yang kesekian kali dan luka lama yang terpendam muncul lantaran pemicu ini. Jangan salahkan pihak-pihak tertentu yang melakukan demo dengan kekerasan atau semacamnya, karena dalam ilmu Psikologi Sosial: Psikologi Massa, sekelompok orang yang mempunyai "kata" yang sama akan menyatu dan jika sudah menyatu maka apapun yang dikatakan oleh komandan mereka maka itulah aksi massal mereka. Secara kasar, jika sudah menyatu maka psikologis mereka bukan lagi individu, namun massa (kelompok). Ini pula yang didukung dengan acuan negara demokrasi.

Berbeda dengan Malaysia, karena masih ada aturan dan "kekangan" dari pemerintah dalam berpendapat, maka gemuruh demopun dan berkecambah. Mereka merasa adem ayem saja dengan isu-isu ini karena mereka takut jika mereka bergolak atau berpendapat, maka mereka harus siap menerima konsekuensinya. Kalaupun ada demo, mungkin hanya dari etnis Melayu sebagai penguasa negeri, bukan dari etnis Arab, India maupun China. Karena etnis selain Melayu mendapat perlakuan yang berbeda sehingga mereka merasa "malasa" jika harus berurusan dengan tetek bengek negara. Atau mungkin mereka sudah tidak punya nasionalisme ya?

Malaysia boleh marah dengan perlakukan kita terhadap mereka terlebih demontrasi "Bendera" yang melempar @$#! ke gedung Kedubes Malaysia. Namun, kita pantas marah dan lebih karena mereka telah menginjak harga diri dan kedaulatan bangsa secara terulang.

Sebagai penutup, saya kutipkan pidato Bung Karno "Ganyang" Malaysia:


Kalau kita lapar, itu biasa

Kalau kita malu, itu juga biasa

Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan, hajar cecunguk Malayan itu!

Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysia keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo…ayoo… kita… Ganyang…

Ganyang… Malaysia

Ganyang… Malaysia

Bulatkan tekad

Semangat kita baja

Peluru kita banyak

Nyawa kita banyak

Bila perlu satu (lawan) satu!


Catatan: 2 gambar di atas saya foto dari kaos saya yang diberi oleh seseorang. Mungkin kaos itu sudah lama ada, kira-kira peristiwa pertama kali Malaysia berulah.[]

Aug 17, 2010

#merdeka!


Pekikkan Merdeka! Agar seluruh dunia tahu tentang Indonesia dengan ber-twitter ria #merdeka!

Aug 16, 2010

Ngabuburit Sore


Sore-sore menjelang Magrib untuk berbuka puasa, biasanya banyak orang-orang yang melakukan jalan-jalan sekedar menanti waktu berbuka, termasuk saya. Sudah barang tentu banyak hal yang unik ketika sore di waktu Ramadhan. Coba deh tengok di sekitar kita, pasti kita akan menemukan yang namanya penjaja menu buka puasa, ta'jil, bazar dan lain sebagainya. Saya pun tak mau ketinggalan, saya juga menghabiskan waktu menanti Magrib dengan jalan-jalan. Saya paling suka membeli es campur. Hehehehe...atau ada yang menyebutnya es buah dan rumput laut. Namun, apapun itu, saya sangat menyukai suasana sore menjelang Magrib itu. Apalagi ketika suara adzan berkumandang. Waduh...lega banget bisa berbuka dengan nikmat-Nya. Selamat berbuka puasa...[]

Aug 14, 2010

Eat, Pray, Love


Bali. Menjadi dasar kuat yang melatari film Eat, Pray, Love. Bukan tanpa sebab, Bali dijadikan sebagai ending dari rangkaian cerita dalam film yang diadaptasi dari judul yang sama karangan Elizabeth Gilberth. Dari beberapa foto penggalan film yang saya ambil dari imdb.com, banyak sekali menyuguhkan social culture Bali yang sangat indah. Bahkan di trailer-nya saja, pada opening disuguhkan Bali dengan latar sawah dan gunung Batur. Sungguh menawan!

Sebagai info, film ini menceritakan tentang Gilberth yang diperankan oleh aktris cantik Julia Robert. Gilberth adalah seorang jurnalis yang resah mencari makna hidup. Dan pada perkembangannya, dia telah memiliki semuanya, termasuk suami, rumah dan karir. Namun, bukanlah kebahagiaan yang dia raih, melainkan keresahan yang semakin mendalam. Apalagi setelah bercerai dari suaminya sehingga dia sangat depresi dan mengalami hari-hari yang sangat kritis. Untuk memulihkan keadaannya, maka dia mengambil langkah yang sangat ekstrem. Dia ingin menenangkan diri dengan berpetualangan ke penjuru dunia. Dia rela meninggalkan pekerjaan dan orang-orang yang dicintainya selama ini. Dia meninggalkan segala hal yang telah diperoleh.

Bukan keputusan yang mudah untuk menjalani hal tersebut, akhirnya dia memutuskan untuk mengunjungi 3 negara yang menurutnya mewakili apa yang dia cari selama ini. Negara pertama adalah Italia, dengan beragam budaya dan kekhasan aneka masakannya. Di sini dia memahami adanya filosofi dalam makna kehidupan mengenai Eat (makan). Karena memang masakan Italia dikenal dengan resep-resep yang khas dan mendunia. Setelah puas di Italia, dia menuju ke India. Di sini, dia memahami tentang makna hidup dengan adanya penyerahan diri kepada Tuhan, Pray (ibadah). Mengenal sisi spiritualitas yang sangat mendalam di padepokan Hindu India.

Dan terakhir dia menuju ke Bali, Indonesia. Di sinilah alur cerita itu berakhir. Selama di Bali, dia menjadi murid dari seorang dukun lokal yang sangat arif, Ketut Liyer, diperankan Hadi Subiyanto. Banyak hal yang dia dapatkan selama menjadi murid Ketut Liyer. Bahkan, dia mengenal dan memahami serta menemukan kembali makna cinta (Love) selama di Bali. Cinta yang dia cari selama ini berlabuh kepada Felipe, diperankan oleh Javier Bardem. Sungguh menjadi akhir perjalanan dan jalinan cinta yang dia dambakan selama ini. Film Eat, Pray, Love telah rilis tanggal 13 Agustus 2010 di Amerika Serikat. []

Aug 10, 2010

Happy Ramadhan 1431 H


Alhamdulillah. Tidak terasa sudah memasuki bulan Ramadhan di tahun 2010 ini. Sungguh bulan yang sangat saya rindukan, apalagi ketika buka puasa, tawarih, tadarus dan sahur. Masih ingat saya ketika puasa tahun kemarin. Ketika berbuka harus berburu dan menyiapkan ta'jil untuk para pelanggan dan karyawan. Kadang malah tak kebagian.

Ketika tawarih, sungguh suasana yang saya rindukan saat berjejer berjamaah dengan para makmum dengan segala kekhusyukan ibadahnya. Ketika tadarus, sungguh pengalaman tak terlupakan ketika saya ditegur oleh penyimak di sebelah saya yang memang agak "keras". Maklum, orangnya sudah tua, tapi saya salut karena masih peduli dan mau tadarus daripada generasi mudanya yang entah ke mana. Masih ingat juga saya ketika selesai tadarus, ada beberapa orang yang membawa bingkisan, semua orang dapat jatah...eh lhakok saya malah tidak. Apes! Tapi bukan niatan tadarus saya untuk mendapatkan itu lho...

Ketika sahur, saya masih ingat harus janjian dengan sahabat saya, Ade, anak Bandung, harus saling mengingatkan bangun untuk sahur. "Pik, bangun! Cak Ran ato Unair?" Haduh...kangen sama kepolosan dan kerendahan hatinya. Miss U prend! Kami juga senang keliling Surabaya pusat ketika waktu sahur, berangkat pukul 02.00 wib kembali pukul 04.00 wib, pas imsak. Bahkan saya kadangkala harus mengganggu sang satpam untuk membukakan pintu pagar kantor. Sungguh kenangan yang tak terlupa.

Saat ini, meski masih di kampung orang, saya merasakan pengalaman Ramadhan di luar rumah. Biasanya saat pertama Ramadhan, saya kumpul bersama keluarga, namun kali ini tidak. Cari suasana berbeda saja, namun jika memilih, saya lebih suka di rumah. Suara petasan, pujian-pujian ketika menjelang Tarawih, musik patrol ketika sahur dan jalan-jalan subuh. Semua itu sangat saya rindukan.

Namun, saya tak mau panjang lebar. Perkenankanlah, saya, anaksemeru, mengucapkan:

"Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1431 H"
Semoga kita dapat menjalankannya dengan baik dan penuh kesabaran



Keluarga besar,

anaksemeru

Aug 9, 2010

Menyibak Coban Pawon

Petualangan saya dan Mekedel berlanjut. Setelah puas muter-muter di kebun teh, maka kami menuju target berikutnya yakni air terjun yang katanya jarang dijamah orang. Nah lho? Tambah penasaran. Hal ini bermula saat kami berada di kebun teh, kami mencari-cari air terjun yang katanya lebih besar dan lebih tinggi dari coban Bedhug. Namun dicari hingga nyaris ke puncak kebun teh tidak ketemu. Akhirnya, kami mencari informasi mengenai keberadaan air terjun yang membuat saya dan Mekedel makin penasaran. Setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya kami diberi rute oleh informan di kebun teh. Pokoknya kami harus turun bukit dan jaraknya sekitar 7 kilometer. Eidan tenan! Tapi berhubung kami ngebet ingin tahu, akhirnya kami berangkat juga menuju ke sana.

Tak mudah menemukan lokasi yang dimaksud, malahan kami sempat tersesat lantaran keraguan informasi. Namun, kami santai saja mencari lokasi tersebut apalagi jalanan yang menurun membuat kami bermain layaknya rollercoaster. Teriak-teriak tak karuan, saking kencang dan senangnya. Akhirnya, selama kurang lebih 1 jam cari informasi, kami menemukan juga lokasi tersebut. Lega!

Namun, bukan tanpa masalah lagi. Kali ini kami sungguh apes lantaran tidak ada yang bisa mengantarkan kami ke lokasi. Apalagi medannya yang sangat susah. Setelah menimbang kembali, kami akhirnya ditawari oleh pak Si’i, seorang warga setempat yang kebetulan mempunyai ladang di dekat lokasi. Kamipun menitipkan motor di rumah beliau. Sebagai info, Coban Pawon berada di daerah Kertowono, lebih tepatnya di desa Wangkit.Titik lokasi tepatnya berada di perbatasan desa Dadapan dan desa Wangkit.

Pak Si’i asik juga orangnya. Ngobrol apapun nyambung meskipun notebenenya orang desa. Selama perjalanan pun kami mengobrol terus dengan beliau. Medan yang sangat susah tak kami hiraukan karena melihat beliau penuh bersemangat mengantar kami. Dari arah perbatasan tadi, jarak menuju ke lokasi air terjun sekitar 1,5 kilometer. Naik turun bukit menjadi ciri khas track menuju ke lokasi. Bahkan, sebelum tiba di lokasi air terjun, medannya juga lumayan curam yakni sekitar 45 derajat. Gila! Kami pun harus berpegangan hanya dengan pohon-pohon kecil dan daun pisang yang sudah lapuk. Grrrr…

Tampak dari atas, coban Pawon seperti tungku, air yang jatuh dari ketinggian sekitar 15 meter menimpa lubang gua yang ada di bawahnya. Sehingga terlihat sangat indah dan menakjubkan. Dari arah kejauhan, bentuk pawon tersebut sangatlah jelas terlihat detailnya. Terlebih jika masuk ke dalam gua yang berdiameter sekitar 6 meter, maka kita dapat menikmati air yang diterpa angin. Sungguh mengasyikkan.

Salah satu air terjun yang harus dikunjungi dari sekian air terjun yang ada di Lumajang adalah Coban Pawon atau biasa disebut Antrukan Pawon. Lokasinya yang masih alami dan jarang terjamah oleh orang memberikan pengalaman yang tak terlupakan.”


Dedaunan hijau dengan tanaman khas pegunungan juga dapat dinikmati di sisi kanan kiri air terjun. Di bawah air terjun terdapat sungai yang mengalir menuju hilir. Tatanan alami bebatuan juga menjadi lukisan alam yang berdampingan langsung dengan sungai. Meski secara keseluruhan medannya cukup sulit, namun hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin menikmati air terjun yang tinggi dan besar ini. Terima kasih, Pak Si’i, kami takkan melupakan jasamu yang telah mengantarkan kami menemukan air terjun yang sangat indah itu. []

Permadani Hijau di Gucialit


Di hari kedua bersama Mekedel, saya masih bingung mau diajak ke mana lagi. Banyak spot wisata yang bisa dikunjungi namun malah bingung mana yang didahulukan. Karena sebelumnya sudah ke Lumajang bagian timur dan barat wilayah selatan, sekarang kayaknya ingin ke bagian barat wilayah utara. Ya, tak lain memang ada spot wisata yang akan menyenangkan nantinya. Agrowisata Kebun Teh Gucialit.

Setelah berkemas, kami berangkat sekitar pukul 13.00 wib, sungguh waktu yang kurang tepat untuk jalan-jalan. Selain panas, jaraknya juga lumayan jauh sehingga memakan waktu. Meski begitu, kami nekad saja berangkat. Berbekal tas, botol air minum yang sudah terisi dan tentunya kamera digital. Sekitar 1 jam kami tiba di Agrowisata Kebun Teh Gucialit. Hawanya pun berganti, kali ini cukup sejuk dan segar. Tidak seperti selama perjalanan yang cukup menyengat.

Lokasi yang kami tuju tepatnya berada di wilayah barat kabupaten Lumajang yang berupa dataran tinggi seperti pegunungan. Di sini, kita banyak disuguhi pemandangan alam, mulai dari hijaunya sawah, deretan kebun kopi, pohon manggis, cengkeh dan yang paling menarik adalah kebun teh. Agrowisata Kebuh Teh Gucialit merupakan wilayah perkebunan teh milik PTPN XII Kebun Kertowono. Bahkan di sana juga ada pabrik pengolahannya yang tak jauh dari kebun teh.


Ketika awal masuk kawasan agro, kita akan menemukan bangunan tua khas Belanda. Mulai dari kantor PTPN XII, homestay, rumah dinas dan penginapan. Arsitektur yang bergaya Belanda kuno sangat kental, terlebih pada homestay yang biasanya digunakan bagi para tamu dan pejabat yang berkunjung ke sana. Sangat unik dan asyik jika berada di dalamnya. Kesan perkebunan yang dipadu dengan suasana yang khas pegunungan sangat menenangkan. Kicauan burung-burung dan kupu-kupu yang beterbangan di taman depan homestay sangat menawan. Bagi siapa saja pasti bakal betah berada di sini.

Setelah cukup berkeliling di homestay dan penginapan, kami menuju ke kebun teh dan air terjun. Jaraknya tak terlalu jauh dari pintu gerbang, namun yang menjadi kendala adalah medannya yang kurang bersahabat lantaran masih makadam. Meski begitu, kami dapat menikmati jalan-jalan ini karena terobati dengan panorama hamparan kebun teh nan hijau. Pucuk-pucuk daun seakan-akan menyentuh langit ketika kami melewati di sisi lembahnya. Tak hanya itu, kami juga dapat menikmati air terjun yang berada di area kebun teh. Namanya Coban Bedhug, dari namanya saja kita pasti tahu bahwa air terjun ini bermakna “Dhuhur” yang dalam bahasa Jawa bermakna “Siang”. Air terjun ini memang terlihat rendah dari kebanyakan air terjun yang ada namun panorama sekitarnya cukup membuat kesejukan. Dengan taman yang sengaja dibangun, air terjun ini tampak lebih hidup.

Jika naik ke atas lagi maka kita dapat menikmati kota Lumajang dari puncak perbukitan yang tentunya ditemani hamparan kebun teh. Di sini akan terasa berada di atas kota Lumajang, karena hampir kawasan yang ada di bawah kebun teh tampak jelas terlihat. Sungguh liburan yang sangat menyenangkan. Dan siang itu juga kami harus menyudahi jalan-jalan di kebun teh untuk melanjutkan ke target berikutnya. []

Bercericak dengan Bebatuan Alam


Setelah saya dan Mekedel berpamitan kepada pak Munir di Kampung Batik Lumajang, kami memutuskan untuk berlanjut ke target lainnya. Meski awalnya ingin dibatalkan niat tersebut lantaran waktu dan cuaca yang kurang bersahabat. Namun akhirnya kami berangkat juga.

Sekitar pukul 12.00 wib, kami sudah tancap gas meninggalkan Kunir menuju ke ujung barat Lumajang. Jarak dari pusat kota Lumajang memang terbilang cukup jauh karena berada di perbatasan Lumajang-Malang bagian selatan. Tepatnya berada di desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo yang merupakan daerah lereng Semeru. Jarak yang jauh itu kami tempuh sekitar 1,5 jam perjalanan naik motor secara ngebut (hehehehe…)

Tak sulit menemukan lokasi Goa Tetes ini, karena aksesnya berada di pinggir jalan besar yang menghubungkan Lumajang-Malang. Dari jalan besar, jarak menuju ke lokasi tiket dan parkir kendaraan sekitar 1 kilometer. Sementara dari lokasi tiket menuju ke titik Goa Tetes sekitar 3 kilometer. Dan untuk menuju ke Goa Tetes tersebut harus berjalan kaki. Dengan jalanan yang menurun khas perbukitan, Anda takkan menyesal jika sampai di bawah. Meski terbilang cukup melelahkan, terlebih jika dalam perjalanan pulang karena harus merangkak naik namun semua itu tak sebanding dengan keeksotikan Goa Tetes yang benar-benar menakjubkan.

Jika mengalami kelelahan selama perjalanan menuju ke Goa Tetes yang lokasinya berada di bawah, jangan khawatir karena pada titik-titik tertentu terdapat warung-warung kecil yang siap melayani Anda dengan minuman dan makanan ringan. Hal ini juga dapat dijumpai di bagian bawah sebelum masuk ke area Goa Tetes.

Goa Tetes sendiri merupakan air terjun yang mempunyai sumber air yang banyak sehingga tidak seperti air terjun pada umumnya yang mempunyai sumber air tunggal atau dua. Yang menjadikan tempat ini sangat menakjubkan adalah hijaunya lumut dan bebatuan alam yang sangat alami membuat mata yang memandang takkan rela melepas setiap pandangan.

Dinamakan Goa Tetes karena memang terdapat gua yang berada di bawah air terjun dan air yang berasal dari atas menetes ke bawah sehingga tetesan inilah yang menjadi ciri khasnya. Selain itu, bebatuan alam yang berwarna kuning seperti terbungkus belerang juga terlihat sangat indah. Perpaduan lumut hijau dan bebatuan yang mempunyai stalaktit juga menambah keindagan Goa Tetes.

Jika dilihat dari arah kejauhan, Anda seperti menemukan surga di bumi lantaran hamparan air yang mengalir dan menetes indah di atas bebatuan kuning keemasan dan lumut yang hijau. Terlebih semua itu adalah alami. Sedangkan pada arah berlawanan juga terdapat tebing-tebing tinggi yang tertutupi oleh tanaman sulur yang hijau menawan. Jika diamati secara detail, sepanjang perjalanan menuju ke bawah, Anda akan melihat air terjun lain yang berada di lokasi dekat dengan Goa Tetes dan semua itu belum terjamah oleh orang.

Bila Anda semakin penasaran dengan keindahan Goa Tetes, maka berkunjunglah ke sana. Hanya dengan tiket Rp. 1500, Anda dapat menikmati panorama alam surga khas bumi. []

Aug 8, 2010

Kampung Batik ala Lumajangan


Liburan awal tahun 2010, saya memang tak merencakan pasti akan ke mana. Namun karena ada sahabat saya dari Sidoarjo, akhirnya saya memutar otak mau diajak ke mana anak orang yang satu ini. Berdalih membayar dosa karena rela menunggu saya berjam-jam di terminal Bungurasih lantaran bertepatan dengan saya pamit resign dari tempat kerja. Maka saya akan mengajaknya berkeliling Lumajang tanpa agenda yang jelas. Asal senang saja tuh anak! (maaf lho kalo dirimu sedang membaca tulisan ini. Hehehe…)

Perjalanan panjang saya bersama Rois dimulai dari kampung batik Lumajang. Meski awalnya sempat kesulitan karena mengatur jadual agenda namun akhirnya kami bisa melihat langsung proses pembuatan dan hasil jadi batik Lumajang. Jujur, ini bukan agenda awal tapi kami tak menyesal jika bertandang ke kampung ini. Lokasinya memang lumayan jauh dari perjalanan awal kami, namun karena niatan ya jadilah mampir.

Nama kampung batik tersebut adalah Bentengrejo, Kunir Kidul. Memang tak sekenal batik Laweyan, Solo, namun mempunyai sejarah tersendiri bagi perkembangan batik di Lumajang. Perintis dan tokoh batik ini adalah pak Munir, seorang guru yang mengajar di salah satu SD di kecamatan tersebut. Berawal dari latar belakangnya yang memang hobi membatik, maka terbentuklah kelompok batik Makarti Jaya yang kini sudah mempunyai 7 kelompok usaha. Seperti yang diceritakan oleh sang tokoh, pada awalnya banyak tantangan yang dihadapi. Salah satunya adalah tak ada standarisasi corak batik Lumajang sehingga menyulitkan untuk pemasaran, bahkan ada kendala-kendala kecil di lingkungannya. Namun karena sudah niat dan ingin membantu pemuda desa agar tak jadi pengangguran, lambat laut usaha ini menampakkan hasil.

Berbekal pengalaman untuk menggarap motif batik selama di Sidoarjo, yakni kampung halaman aslinya, maka tak canggung bagi pak Munir untuk menggoreskan motif-motif batik yang cocok untuk penggambaran Lumajang. Tapi, karena masih minim pengetahuan tentang ciri khas Lumajang, maka secara bertahap beliau memutar otak hingga akhirnya menemukan motif dan corak yang sangat khas. Corak yang menonjol di batik Lumajang adalah warna Turqoise, warna khas yang diakuinya mewakili Lumajang. Sementara motifnya sangat beragam, antara lain; burung penglor, gelombang samudro, pisang dan sulur. Masing-masing motif mempunyai ciri khas tersendiri yang sangat indah. Karena ciri khas inilah, beliau berharap batik Lumajang tidak terpecah-pecah berdasarkan motif pembuatnya, dengan kata lain cukup dari satu sumber saja sehingga standart batik khas Lumajang mampu dikontrol. Tidak seperti di daerah lain yang setiap tempat mempunyai khas masing-masing, sehingga kontrol kualitas dan motif kurang diperhatikan. Bahkan bisa jadi bumerang bagi para pengrajin batik untuk berani membuat cabang dan aliran sendiri tanpa memperhatikan kekhasan lagi. Itulah yang tidak diinginkan oleh pak Munir.


Meskipun beragam motif yang telah dihasilkan oleh beliau, namun tak menyurutkan semangat beliau untuk terus berkarya. Tekad dan usaha konsisten inilah yang membuat batiknya dilirik oleh kalangan tertentu bahkan bernilai mahal. Sebut saja kalangan pejabat di Lumajang bahkan tingkat provinsi.

Selain membatik di kain khusus, ada juga di kain paris dan sutera. Harganyapun beragam mulai dari 150 ribu hingga jutaan. Hal tersebut tergantung motif, warna dan jenis kain. Batik yang dihasilkan bukan hanya batik tulis namun juga ada batik cap yang tentu harganya lebih murah. Berapapun harganya takkan sebanding dengan mahakarya yang begitu indah dan menawan. Begitulah pesan tersirat dari tokoh batik Lumajang ini. Satu keinginan beliau: saya ingin membuat katalog dan memamerkan batik Lumajang agar lebih dikenal. Haik! Bravo, Pak! []