Masih teringat di bulan kemerdekaan RI ini. Bertepatan dengan bulan Ramadhan juga, Indonesia harus menerima kado pahit dari negara tetangga. Peristiwa 13 Agustus 2010, menjadi momok dan pengelupas luka yang sudah berkali-kali dilakukan oleh negeri Jiran, Malaysia. Semoga ini bukan kado pahit seperti Palestina-Israel yang pada tahun sebelumnya juga terjadi di bulan Ramadhan.
Goresan luka yang belum sembuh itu sudah digarami lagi oleh Malaysia. Mulai dari klaim budaya, perbatasan, penyiksaan dan pembunuhan TKI dan sebagainya. Dengan dalih lagu lama "negara serumpun", mereka dengan entengnya menginjak-injak harga diri dan kedaulatan NKRI. Indonesia sendiri bukan tanpa bergeming dan marah, namun lebih dari itu. Masih ingat peristiwa Reog Ponorogo, Angklung dan Batik. Semuanya itu masih belum menjadi jera bagi negara tetangga kita itu. Meski banyak yang menilai pemerintahan lamban dan kurang tegas menyikapi hal ini, namun jalur-jalur negosiasi sudah ditempuh. Bak muntap, semua itu tak berpengaruh dengan hati rakyat yang sudah menilai perlakukan Malaysia sudah sangat biadab.
Di dalam negeri sendiri, atmosfer kemarahan sudah mendidih lantaran ini adalah kejadian yang kesekian kali dan luka lama yang terpendam muncul lantaran pemicu ini. Jangan salahkan pihak-pihak tertentu yang melakukan demo dengan kekerasan atau semacamnya, karena dalam ilmu Psikologi Sosial: Psikologi Massa, sekelompok orang yang mempunyai "kata" yang sama akan menyatu dan jika sudah menyatu maka apapun yang dikatakan oleh komandan mereka maka itulah aksi massal mereka. Secara kasar, jika sudah menyatu maka psikologis mereka bukan lagi individu, namun massa (kelompok). Ini pula yang didukung dengan acuan negara demokrasi.
Berbeda dengan Malaysia, karena masih ada aturan dan "kekangan" dari pemerintah dalam berpendapat, maka gemuruh demopun dan berkecambah. Mereka merasa adem ayem saja dengan isu-isu ini karena mereka takut jika mereka bergolak atau berpendapat, maka mereka harus siap menerima konsekuensinya. Kalaupun ada demo, mungkin hanya dari etnis Melayu sebagai penguasa negeri, bukan dari etnis Arab, India maupun China. Karena etnis selain Melayu mendapat perlakuan yang berbeda sehingga mereka merasa "malasa" jika harus berurusan dengan tetek bengek negara. Atau mungkin mereka sudah tidak punya nasionalisme ya?
Malaysia boleh marah dengan perlakukan kita terhadap mereka terlebih demontrasi "Bendera" yang melempar @$#! ke gedung Kedubes Malaysia. Namun, kita pantas marah dan lebih karena mereka telah menginjak harga diri dan kedaulatan bangsa secara terulang.
Sebagai penutup, saya kutipkan pidato Bung Karno "Ganyang" Malaysia:
Kalau kita lapar, itu biasa
Kalau kita malu, itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysia keparat itu
Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.
Yoo…ayoo… kita… Ganyang…
Ganyang… Malaysia
Ganyang… Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita baja
Peluru kita banyak
Nyawa kita banyak
Bila perlu satu (lawan) satu!
Catatan: 2 gambar di atas saya foto dari kaos saya yang diberi oleh seseorang. Mungkin kaos itu sudah lama ada, kira-kira peristiwa pertama kali Malaysia berulah.[]